Menyeberangi Sungai Tanpa Perahu

  Suzerainty
0

   Gambar: Sungai Tigris yang melewati wilayah Irak. (Wikimedia).



Pernahkah Anda mendengar kisah pasukan yang menyeberangi sungai Tigris, di saat pasang, tanpa satu pun perahu?


Ya, peristiwa ini terjadi di masa kekhalifahan Umar bin Al-Khattab, pada tahun 16 Hijriyah/637 Masehi, ketika pasukan kaum Muslimin hendak menaklukkan salah satu dari dua kekaisaran terbesar dunia mada masa itu, Kekaisaran Persia. Sungai yang mereka seberangi adalah sungai Tigris (Dajlah), yang saat ini berada di wilayah Turki dan Irak. Sungai ini mengalir ke tenggara dari pegunungan Anatolia di Turki dan bermuara di Teluk Persia sepanjang 1.850 km, dengan lebar rata-rata 37 meter.


Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir (1300-1374 M) mengabadikan kisah ini dalam karya sejarahnya yang monumental, Al-Bidayah wa An-Nihayah.



Kala itu, pasukan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Sa’ad bin Abi Waqqash sedang dalam misi penaklukan Kekaisaran Persia dan negeri Irak. Mereka berhasil memukul mundur pasukan Persia dan menaklukkan kota Bahurasir (Seleukia) yang berada di tepi sungai Tigris.


Ibukota Kekaisaran Persia, yaitu Al-Mada’in, berada tepat di seberang sungai. Pasukan Persia melarikan diri ke sana dengan membawa seluruh harta rampasan perang menggunakan perahu. Mereka juga membawa seluruh perahu yang ada di tepian sungai tanpa menyisakan satu pun untuk kaum Muslimin. Sa’ad tidak menemukan satu perahu pun yang tersisa sedangkan sungai Tigris dalam keadaan pasang. Permukaan airnya naik sangat tinggi dan airnya berubah warna menjadi kehitaman. Sampai-sampai buih meluap-luap disebabkan oleh derasnya arus sungai.


Sa’ad diberitahu bahwa “Raja Kisra (Yazdigrid) akan memindahkan seluruh harta dan perbendaharaan istananya ke Hulwan. Jika selama tiga hari engkau tidak menangkapnya, permasalahan akan menjadi semakin runyam”.


Kemudian Sa’ad berpidato di hadapan pasukannya, di tepian sungai Tigris. Setelah memuji Allah beliau berkata:


“Sesungguhnya musuh kalian telah melindungi diri dengan menyeberangi sungai ini dan kalian tidak dapat memburu mereka, sementara jika mereka berkehendak mereka dapat menyerbu kalian dari sampan-sampan mereka. Di belakang kalian tidak ada musuh yang perlu ditakutkan. Aku berpendapat kita harus terus berjihad mengejar musuh-musuh kita dengan niat yang ikhlas sebelum dunia mengelilingi kita. Aku telah bertekad untuk menyeberangi sungai ini agar dapat menyerbu mereka.”


 

Maka seluruh pasukan berkata, “Sesungguhnya Allah juga telah berkehendak agar kami dan Anda menyeberangi sungai ini, maka lakukanlah.”



Lalu Sa’ad memotivasi pasukannya untuk menyeberangi sungai tersebut. Beliau berkata, “Siapa yang dapat melindungi kami dari serangan musuh di seberang sungai agar tentara dapat menyeberang dengan aman?”


Maka ‘Ashim bin Amr maju bersama dengan para pahlawan Islam yang berjumlah kurang lebih 600 orang. Kelompuk ini disebut ‘Kutaibah Ahwal’ (kelompok pendahulu). Mereka akan menyeberang sungai lebih dulu dan mengamankan tepian sungai di seberang agar sisa pasukan Muslimin dapat menyeberang dengan aman.


Kemudian ‘Ashim berkata kepada kelompoknya, “Siapa yang mau ikut denganku untuk menyeberangi sungai ini agar kita dapat melindungi tentara dari tepi seberang?” Maka 60 personil dari kelompoknya langsung turun ke sungai untuk menyeberang bersama ‘Ashim. Sementara orang-orang Persia berdiri dan berbaris di tepian seberang dan menyaksikan adegan tersebut.


Ketika para penduduk Persia melihat tentara Muslimin berjalan terapung di atas air, mereka tercengang keheranan dan berkata dalam bahasa Persia, “Diwana… diwana…” (gila… gila…). Mereka saling berbicara kepada sesamanya, “Sesungguhnya kalian bukan memerangi manusia tetapi yang kalian perangi ini adalah jin!”



Orang-orang Persia mengirim pasukan berkuda mereka turun ke tepian sungai untuk menghadang ‘Ashim dan pasukannya yang hampir tiba. ‘Ashim memerintahkan pasukannya untuk membidik mata kuda-kuda mereka dengan panah. Mereka berhasil membutakan mata kuda-kuda musuh dan penunggangnya langsung melompat meninggalkan kuda mereka yang tidak terkendali. Di saat mereka lari, ‘Ashim mengerahkan tentaranya untuk memburu dan mengusir mereka hingga akhirnya tepian sungai berhasil mereka kuasai. Setelah itu barulah sisa dari pasukan ‘Ashim yang seluruhnya berjumlah 600 personil menyeberang dengan kuda mereka dan bergabung dengan ‘Ashim di seberang sungai.


Setelah melihat tepian seberang sungai telah aman dijaga oleh ‘Ashim dan pasukan berkudanya, Sa’ad turun menyeberang bersama dengan sisa pasukan. Sa’ad memerintahkan kaum Muslimin agar memasuki air sambil mengucapkan,



".نَسْتَعِيْنُ بِاللهِ، وَنَتَوَكَّلُ عَلَيْهِ، حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ"


“Kami memohon pertolongan kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya. Cukuplah Allah sebagai penolong kami, tiada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan bantuan Allah yang Mahatinggi dan Mahaagung.”



Lalu seluruh pasukan masuk ke air tanpa ada yang tersisa. Mereka semua berjalan di atas air seolah-olah sedang berjalan di atas tanah. Permukaan air tidak tampak lagi disebabkan banyaknya para tentara yang terdiri dari penunggang kuda dan pejalan kaki. Kuda-kuda mereka berjalan menyeberang sedangkan batas air sungai tidak sampai ke tali kekangnya. Para pasukan saling berbicara satu sama lain seolah-olah mereka sedang berbicara di atas daratan.


Kejadian ini merupakan salah satu tanda kebesaran Allah dan karamah yang diberikan-Nya kepada sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash. Allah menyelamatkan mereka hingga mereka selamat menyeberangi sungai tersebut tanpa ada satu pun yang tenggelam atau kehilangan bekal. Abu Bujaid Nafi’ bin Al-Aswad membuat syair yang mengisahkan tentang kejadian ini:


    Kami datang ke Al-Mada’in dengan berkuda

    Menyeberangi lautnya seolah-olah sedang berjalan di atas daratan

    Kami akhirnya berhasil merebut seluruh harta perbendaharaan Kisra

    Pada hari ketika mereka melarikan diri dan kami mengejarnya.



Tatkala seluruh pasukan telah mendarat di atas tanah, kuda-kuda mereka mengkibas-kibaskan air yang melekat di badan mereka. Setelah itu mereka segera mengejar para tentara Persia yang melarikan diri hingga masuk ke Al-Mada’in.


Ada kejadian unik yang terjadi ketika seluruh pasukan menyeberang bersama Sa’ad. Kala itu sebuah piring kayu milik seorang anggota pasukan bernama Malik bin Amir hanyut terbawa arus. Ikatan bekalnya tidak kuat sehingga piring itu terlepas. Tetapi Malik bin Amir berdoa kepada Allah agar barang tersebut kembali, dalam doanya ia berkata, “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dari sekian banyak pasukan hanya aku yang kehilangan piringku.” Akhirnya ombak tinggi menghempaskan piring itu kembali kepadanya.



Demikianlah kisah mengenai salah satu karamah Allah yang terjadi semasa penaklukan Kekaisaran Persia dan negeri Irak. Sesampainya di Al-Mada’in, Sa’ad mengepung Istana Putih Kisra selama tiga hari dan mendakwahi pasukan Persia yang bersembunyi di dalamnya. Pada hari ke tiga, akhirnya mereka keluar dan menyerah. Sementara Kisra Yazdigrid beserta keluarganya telah melarikan diri beserta dengan harta benda yang bisa diselamatkan.



Semoga bermanfaat!


Sumber: Dr. Muhammad bin Shamil As-Sulami (2018), Tartib wa Tahdzib Kitab Al-Bidayah wan Nihayah (Al-Atsari, A. I., Terjemahan), Jakarta: Darul Haq. (dengan perubahan redaksi).


Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)
To Top
email-signup-form-Image

Subscribe

Untuk Mendapatkan Notifikasi Ruangsapa