Gambar: Ilustrasi sabar dalam Islam. (Pinterest).
Pernahkah anda diminta untuk menyampaikan kultum, baik kultum Ramadhan maupun kultum-kultum lainnya?
Berikut kami sediakan satu materi kultum dengan tema “Sabar
dalam Islam.”
…
Jamaah
rahimakumullah,
Sabar adalah adat
kebiasaan para nabi dan rasul. Sabar adalah permata yang menghiasi kehidupan
para wali. Sabar adalah mutiara bagi orang-orang shalih. Sabar adalah cahaya
penerang bagi siapa pun yang menapaki jalan menuju kebahagiaan abadi di
akhirat.
Menurut Imam
Al-Ghazali, kata sabar dan berbagai kata turunannya disebutkan di lebih dari
tujuh puluh tempat dalam Al-Qur’an. Di antaranya adalah firman Allah ﷻ:
.(وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِينَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا
كَانُوْا يَعْمَلُونَ. (النحل: ٩٦
“... Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang
sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS
an-Nahl [16]: 96).
Juga firman Allah ﷻ:
سَلَـٰمٌ عَلَيْكُم بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَىٰ الدَّارِ. (الرعد: ٢٤).
“Selamat sejahtera atasmu karena kesabaranmu. Maka alangkah
nikmatnya tempat kesudahan itu.” (QS ar-Ra’d [13]: 24).
Jamaah
rahimakumullah,
Seseorang yang
memiliki sifat sabar bukan berarti ia pengecut, putus asa dan lemah dalam
berucap, bertindak, dan mengambil keputusan. Sabar hakikatnya adalah menahan
diri dan memaksanya untuk menanggung sesuatu yang tidak disukainya, dan
berpisah dengan sesuatu yang disenanginya.
Sabar yang
merupakan salah satu kewajiban hati ada tiga macam, yaitu:
Pertama, sabar
dalam menjalankan ketaatan yang Allah ﷻ wajibkan.
Pada pagi hari
yang suhu udaranya sangat dingin, misalkan, kita harus sabar dalam melaksanakan
perintah Allah. Kita paksa diri kita untuk menahan dinginnya udara guna
mengambil air wudhu. Pada pagi hari juga, saat tidur adalah sesuatu yang
disenangi nafsu kita, kita tahan keinginan nafsu itu, dan kita paksa diri kita
untuk menjalankan ibadah shalat Shubuh. Kita lakukan itu semua semata-mata
mengharap ridha Allah ﷻ. Inilah yang disebut
dengan sabar dalam menjalankan ketaatan yang diwajibkan oleh Allah ﷻ.
Kedua, sabar dalam
menahan diri untuk tidak melakukan segala yang Allah haramkan.
Nafsu manusia pada
umumnya menyenangi hal-hal yang dilarang oleh Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman dalam surat
Yusuf ayat 53:
إن النفس لأمارة بالسوء.
"Sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada
keburukan." (QS. Yusuf [12]: 53).
Maka dari itu
barangsiapa yang menjauhkan dirinya dari kemaksiatan dengan niat memenuhi
perintah Allah ﷻ, maka pahalanya
sangat agung. Para ulama mengatakan bahwa meninggalkan satu kemaksiatan lebih
utama daripada melakukan kesunnahan. Karena meninggalkan kemaksiatan hukumnya
wajib. Sedangkan melakukan kesunnahan hukumnya sunnah.
Ketiga, sabar dalam
menghadapi musibah yang menimpa.
Musibah jika
dihadapi dengan sabar akan meninggikan derajat atau menghapus dosa. Musibah
banyak macamnya. Perlakukan buruk orang lain pada kita adalah musibah. Begitu
juga penyakit yang kita derita, kemiskinan, kecelakaan, kehilangan harta benda,
kebakaran, dan lain sebagainya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حَزَنٍ وَلَا أَذًى وَلَا غَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَة يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ).
“Tidaklah seorang Muslim tertimpa keletihan dan penyakit,
kekhawatiran dan kesedihan, gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang
melukainya, melainkan dengan sebab itu semua Allah akan menghapus
dosa-dosanya.” (HR. Al-Bukhari).
Dalam hadits lain,
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ. (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ).
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya,
maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (HR. Al-Bukhari).
Jadi orang yang
dikehendaki kebaikan padanya oleh Allah ﷻ, ia akan ditimpa musibah dan diberi kekuatan oleh Allah ﷻ untuk bersikap sabar dalam menanggung dan
menghadapi musibah yang menimpanya.
Sabar dalam
menghadapi musibah artinya, musibah yang menimpa tidak menjadikan seseorang
melakukan sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Allah ﷻ.
Musibah yang
menimpa, terkadang tidak hanya menyebabkan seseorang melakukan perbuatan haram.
Bahkan lebih dari itu, terkadang menjadikannya melakukan atau mengucapkan
perkataan yang menjerumuskannya pada kekufuran. Seperti orang yang ketika
anggota keluarganya meninggal dunia, ia mengatakan bahwa Allah zalim, Allah
tidak adil, Allah bukan tuhan yang berhak disembah, dan perkataan lain yang
membatalkan keislaman dan keimanannya. Na’udzu billah min dzalik. Hal yang
demikian itulah yang wajib kita hindari.
…
Semoga bermanfaat!