Bukan Harta, Tapi Roti dan Air Mata yang Menyelamatkannya

ruangsapa
0

Ahmad bin Miskin dan Prasangkanya

            Ahmad bin Miskin adalah ulama di abad ke-3 Hijiriyah dari kota Bashrah, Irak. Beliau menuturkan bagaimana perjalanan hidupnya yang membuat pembaca terkesima. Bukan karena gejolak hidupnya, namun kita akan terkesima karena teguran Allah yang mengingatkannya.

            Ia adalah seorang ulama yang miskin. Pada tahun 219 Hijriyah ia menceritakan, “Aku saat itu tidak memiliki apa pun, sementara aku harus menafkahi istri dan anakku. Rasa lapar yang hebat mengiringi hari-hari kami. Maka, aku berazam untuk menjual rumah dan pindah ke tempat yang lain. Aku pun berjalan-jalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku.

            Ketika aku berjalan, aku bertemu dengan sahabatku, Abu Nashr. Lalu, kuceritakan kondisiku. Lantas, ia memberiku dua lembar roti isi manisan dan berkata, “Berikan makanan ini kepada keluargamu.” Di tengah perjalanan pulang, aku berpapasan dengan seorang perempuan fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku. Dengan memelas ia memohon, “Tuanku anak yatim ini belum makan, tak kuasa terlalu lama menahan siksa lapar. Tolong beri ia sesuatu yang bisa ia makan. Semoga Allah merahmati tuan.”


Foto oleh Pixabay

            Sementara si anak menatapku polos dengan tatapan yang takkan kulupakan sepanjang hayat. tatapan matanya menghanyutkan akalku dalam khayalan ukhrawi, seolah-olah surge turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada siapa pun yang ingin meminangnya dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini. Tanpa ragu sedikit pun, kuserahkan semua yang ada di tanganku. “Ambillah, beri ia makan.” Kataku pada si ibu itu. Demi Allah, padahal waktu itu tak sepersen pun dinar atau dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat membutuhkan makanan itu. Spontan, si ibu tak kuasa membendung air mata dan si kecil pun tersenyum indah bak purnama. Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah guntaiku, sementara beban hidup terus bergelayutan di pikiranku. Sejenak kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambil terus memikirkan rencanaku menjual rumah.

            Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Abu Nashr mendatangiku dengan kegirangan. “Hei, Abu Muhammad!  Kenapa kau duduk-duduk di sini, padahal limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?” Tanyanya.

            “Subhanallah…!” jawabku kaget. “Darimana datangnya?”

            “Ada laki-laki dating dari Khurasan. Ia bertanya-tanya tentang ayahmu, atau siapa pun yang punya hubungan kerabat dengannya. Ia membawa berduyun-duyun angkutan barang penuh berisi harta,” ujarnya.

            “Lalu?” tanyaku keheranan.

            “Ia dahulu saudagar kaya di Bashrah ini. Kawan ayahmu. Dulu ayahmu pernah menitipkan harta yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun kepadanya. Lantas, ia rugi besar dan bangkrut. Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu.

            Lalu, ia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan. Di sana kondisi ekonominya berangsur-angsur membaik. Bisnisnya melejit sukses. Kesulitan hidupnya perlahan-lahan pergi, berganti dengan limpahan kekayaan. Lantas ia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu. Maka, sekarang ia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun berbisnis. Ia ingin memberikan semuanya kepadamu, berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya.”

 

            Mengisahkan awal episode baru hidupnya, Ahmad bin Miskin berujar sebagai berikut.

            Kalimat puji dan syukur kepada-Nya berdesakan meluncur dari lisanku. Sebagai bentuk syukurku, segera kucari perempuan fakir dan anaknya tadi. Aku menyantuni dan menanggung biaya hidup mereka seumur hidup. Aku pun terjun di dunia bisnis seraya menyibukkan diri dengan kegiatan social, sedekah, santunan, dan berbagai bentuk amal shalih. Adapun hartaku, ia terus bertambah ruah tanpa berkurang.

            Tanpa sadar, aku merasa takjub dengan amal shalihku. Aku merasa telah mengukir lembaran catatan malaikat dengan hiasan amal kebaikan. Ada semacam harapan pasti dalam diri bahwa namaku mungkin telah tertulis di sisi Allah dalam daftar orang-orang shalih. Suatu malam aku tidur dan bermimpi. Aku melihat diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat. Aku juga melihat manusia bagaikan ombak, bertumpuk dan berbenturan satu sama lain.

            Aku juga melihat badan mereka membesar. Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memanggul dosa-dosa masing-masing di punggungnya.

            Bahkan, aku melhat ada seorang pendosa yang memanggul beban besar seukuran kota di punggungnya. Isinya adalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan. Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku untuk perhitungan amal. Seluruh amal burukku ditaruh di salah satu daun timbangan, sedangkan amal baikku di daun timbangan yang lain. Ternyata, amal burukku jauh lebih berat daripada amal baikku. Tetapi ternyata, perhitungan belum selesai. Mereka mulai menaruh satu persatu berbagai jenis amal baik yang pernah kulakukan.

            Alangkah ruginya, ternyata di balik semua amalku itu terdapat NAFSU TERSEMBUNYI. Nafsu itu adalah riya, ingin dipuji, merasa bangga dengan amal shalih. Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satu pun amalku yang lepas dari nafsu-nafsu itu. Aku putus asa. Aku yakin aku akan binasa. Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari siksa neraka.

            Tiba-tiba aku mendengar suara, “Masihkah orang ini memiliki amal shalih?”

            “Masih”, jawab seseorang, “Masih tersisa ini,” ujarnya lagi.

            Aku pun penasaran, amal baik apa yang masih tersisa?

            Aku berusaha melihatnya. Ternyata itu HANYALAH dua lembar roti isi manisan yang pernah kusedekahkan kepada perempuan fakir dan anaknya. Habis sudah harapanku. Sekarang aku benar-benar yakin akan binasa sejadi-jadinya. Bagaimana mungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku, sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah dan itu tidak berguna sedikit pun. Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan. Segera dua lembar roti itu diletakkan ditimbangan.

            Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak turun sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sampai-sampai lebih berat sedikit dibanding timbangan kejelekan.

            Tak sampai di situ, ternyata ada lagi amal baikku. Yaitu, berupa air mata perempuan fakir itu yang mengalir saat aku berikan sedekah. Air mata tak terbendung yang mengalir kala terenyuh akan kebaikanku. Aku kala itu lebih mementingkannya dan anaknya dibanding keluargaku.

            Sungguh tak terbayang, saat air mata itu diletakkan, ternyata timbangan baikku semakin turun dan terus turun. Hingga akhirnya aku mendengar seseorang berkata, “Orang ini telah selamat.”[1]

            Penulis tak pernah menyangka bahwa seorang maqomnya adalah ulama masih belum selamat dengan ujian keikhlasan. Godaan setan agar menganggap diri ini orang yang baik dan shalih karena banyak berinfak, sedekah, banyak shalat sunnah, puasa atau ibadah lainnya membuat semua amal shalih itu runtuh tak berguna. Maka siapapun kita, baik seorang da’i, santri, ustadz, mubaligh, guru, murid atau warga sipil biasa, tak mungkin setan berhenti menggoda dan merayu agar amal shalih kita cacat dan atau tidak diterima karena riya atau tidak ikhlas.

            Tatkala Ahmad bin Miskin ini menjadi kaya raya, tentu itu menjadi keadaan yang kita dambakan. Kita sama mengharapkan Allah bukakan pintu rezeki harta dengan gambaran akan banyak berinfak dan sadaqoh membantu saudara yang kesulitan. Namun, Kisah Ahmad bin Miskin ini mengingatkan kita bahwa kekayaan itu kadang bukan keadaan yang baik untuk kita, sehingga Allah Ta’ala tidak memberikan rezeki kekayaan namun rezeki yang lain. Akan tetapi manusia akan kekeh dengan pendirian bahwa yang kaya adalah yang Allah muliakan, sedangkan yang miskin adalah mereka yang Allah uji atau bahkan Allah hinakan. Semoga ada banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari kisa Ahmad bin Miskin ini. Wallahu A’lam

 


Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)
To Top
email-signup-form-Image

Subscribe

Untuk Mendapatkan Notifikasi Ruangsapa